![]() |
peta Mina |
Melontar Jumrah, merupakan bagian dari ritual Haji sebagai perlambang perlawanan kita terhadap setan.
Ada tiga jamarat yang dilambangkan sebagai setan tersebut, yaitu al-jumrat al-sufhra (jumrah kecil/pertama), al- jumrat al-wustha (jumrah pertengahan/kedua), dan al-jumrat al-aqobah (jumrah aqobah).
Kejadian di akhir September 2015, ini memaksa saya dan suami mengingat kembali pelaksanaan haji yang kami tunaikan sepuluh tahun yang lalu, di awal Januari 2005.
Rasa duka yang mendalam kami ucapkan kepada para korban, dengan mengucapkan "inna lillahi wa inna ilaihi roji'un"..."sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nya-lah kami kembali"...

Lebih dari 40 sudah teridentifikasi, dan masih puluhan lagi belum kembali ke maktab atau tenda masing-masing.
Hati rasanya tercabik, bahwa banyak keluarga kehilangan anggota keluarganya, suami kehilangan istri, istri kehilangan suami.
Tak sedikit anak-anak yang ditinggal di Indonesia menjadi yatim, piatu, atau yatim-piatu.
Jujur memang, ada rasa syukur bahwa kami masih diberi umur sampai sekarang.
Masih diberi umur membimbing anak-anak, yang pada waktu kami berangkat haji, mereka di usia 16 tahun dan 20 tahun.
Banyak pendapat bahwa korban yang demikian banyak adalah akibat para jamaah mengejar waktu afdhal. Waktu, yang ditengarai kira-kira waktu dhuha, seperti yang dilakukan oleh Rasulullah saw, dalam buku "Haji dan Umrah seperti Rasulullah" - Muhammad Nashiruddin Al-Albani - Penerbit Gema Insani, hal 107.
Seingat saya, KBIH yang saya ikuti bersama suami memang mengikuti manasik haji sesuai cara Rasulullah saw. Termasuk bermalam dahulu di Mina di tanggal 8 Dzulhijah, sebelum wukuf di Arafah, biasa disebut haji Tanazul.
Bila mengikuti ketentuan dari Departeman Agama, rute perjalanannya dari Makkah langsung wukuf di Arafah.
Demikian juga pada waktu melempar jumroh.
Kami memang sudah diberitahu oleh pembimbing haji kami, bahwa pemerintah Saudi menetapkan jadwal bagi warga Indonesia untuk melontar jumroh di malam hari.
Lagi-lagi, karena arahan dari pembimbing haji untuk melontar di waktu afdhal, maka kami pun mengikuti arahan dari beliau.
Caranya bagaimana?
Karena asykar akan berjaga-jaga di segala penjuru.
Entah memang sudah kesepakatan atau bagaimana, maka kami pun seolah diarahkan untuk kucing-kucingan dengan asykar.
Waktu itu angin kencang dan mendung.
Begitu kencangnya angin, hingga payung yang saya pakai terbalik dan jebol.
Jalan menuju ke Jamarat dari area tenda warga Indonesia adalah melalui terowongan yang membelah bukit.
Bila menilik peta Google tahun 2015, kelihatannya terowongan dua arah tersebut adalah Pedestrian Road & Tunnel 15.
Memang berbeda sangat tajam situasi di tahun 2005 dengan tahun 2015 ini.
Jamaah haji tiap tahun bertambah, dalam sepuluh tahun tentunya perbedaannya sangat signifikan.
Pada saat kami melempar jumroh hujan lebat, air menggelontor deras dari arah tebing.
Isu yang beredar adalah terjadi banjir di bawah tebing.
Bahkan di Makkah, Ka'bah terendam air setinggi lutut.
Kami melakukan Nafar Tsani/Akhir, yaitu melempar jumroh selama empat hari berturut-turut, sejak tanggal 10 hingga 13 Dzulhijah.
Memang berbeda dengan ketentuan dari Departemen Agama, yang lebih diarahkan untuk Nafar Awal, sehingga meninggalkan Mina lebih awal.
Peta Google tahun 2015, yang memperlihatkan jalan 204, jalan 223, jalan King Fahd dan Terowongan no 15, saya amati lekat-lekat.
September 2015, dengan suhu 46 derajat C, tentunya sangat berbeda dengan Januari 2005, dengan suhu 26 derajat C.
Hati rasanya tercabik, karena bisa merasakan bagaimana jamaah Indonesia terjebak di jalan 204.
Tak terbayang rasanya wafat karena terinjak.
Apabila pasangan saat melaksanakan haji selalu bergandengan tangan, tak terbayangkan apabila genggaman terlepas dari belahan jiwa.
Demikian juga bila anggota keluarga yang wafat di pangkuan kita di saat ibadah.
Dan sesudah itu tak diketahui keberadaannya.
Saya dan suami termenung cukup lama, bahwa bagaimana bisa, kami menurut saja diarahkan oleh pembimbing haji untuk melempar jumroh di waktu afdhal.
Apakah cukup bijak pembimbing haji mengarahkan jamaah untuk menjalankan ritual yang risikonya lebih besar?
Menilik kondisi sekarang, nyawa menjadi taruhannya.
Waktu itu, keyakinan memang menjadi suatu hal yang sulit untuk dipatahkan.
Wallahu’alam bissawab (والله أعلمُ بالـصـواب) = dan Allah lebih mengetahui yang sebenar-benarnya.
0 Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke blog ini. Silakan tinggalkan komen.
Mohon maaf link hidup akan dihapus ya...